Nahdliyin.net – Nahdlatul Ulama atau disingkat NU merupakan organisasi Islam terbesar di Republik Indonesia. Riset Lingkaran Survey Indonesia (LSI) pada tahun 2020 menyebut jumlah anggota organisasi ini mencapai 91,2 juta jiwa pada 2019.
Jumlah tersebut bakal bertambah apabila disandingkan dengan sebutan NU kultural. Sebutan ini untuk menyebut orang-orang yang tidak terdaftar sebagai anggota NU, namun melakukan amaliyah NU dalam kesehariannya.
Pengamalan ajaran-ajaran NU terjadi karena sejarah panjang organisasi ini. Salah satunya masifnya keberadaan pesantren-pesantren NU yang ada di seluruh Indonesia. Sehingga para santrinya menyebar ke penjuru negeri ini dan menyebarkan ajaran-ajaran tersebut.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak sejarah NU secara singkat di artikel ini.
Kelahiran Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama secara organisasi lahir pada 31 Januari 1926 atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344H. Namun ada kisah panjang yang melatarbelakangi kelahiran tersebut. Terutama terkait dengan pergolakan perjuangan kemerdekaan.
Secara singkat, NU tidak didirikan dengan perangkat organisasi modern. Sebab didasari oleh komunikasi religius-kultural antara KH Cholil Bangkalan kepada KH Hasyim Asyari di Tebuireng.
Namun tahun-tahun sebelumnya juga telah berdiri berbagai komunitas keagamaan. Misalnya Nahdlatul Wathon pada 1916 dan Nahdlatut Tujjar pada 1918. Keduanya didirikan oleh para kiai pemilik pondok pesantren.
Ada juga pada saat itu Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, sehingga adapula yang menyebutnya sebagai Nahdlatul Fikr. Maka banyak yang menyebut berdirinya NU merupakan kelanjutan dari komunitas dan organisasi yang sudah ada sebelumnya.
Organisasi-organisasi itu tentu menjawab tuntutan zaman, dimana kebutuhan untuk bersatu terus bergelora di kalangan pemimpin bangsa Indonesia. Namun cikal-bakal NU juga lahir dari apa yang disebut dengan Komite Hijaz yang merupakan fenomena global.
Komite Hijaz merupakan sebuah jawaban atas rencana Dinasti Saud yang ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena dianggap sebagai sumber bid’ah.
Dinasti pemimpin Arab Saudi ini menolak segala bentuk mazhab di kerajaannya. Mereka ingin menerapkan praktek Wahabi sebagai ajaran resmi.
Rencana Dinasti Saud itu ditolak oleh Muktamar Dunia Islam di Makkah. Sebabnya sentimen anti-mazhab bakal memberangus kemajuan peradaban Islam sendiri. Mereka yang menolaknya kemudian membentuk Komite Hijaz yang dikirim ke Muktamar Dunia Islam.
Singkat cerita, untuk menguatkan diplomasi dalam Komite Hijaz tersebut maka dibentuklah Nahdlatul Ulama. Sehingga para kiai punya legitimasi untuk mengirim utusannya lewat Komite Hijaz.
Riwayat Kepemimpinan
Di NU dikenal dengan dua kepemimpinan, yakni Syuriah dan Tanfidziyah. Jika diibaratkan, keduanya mirip legislatif dan eksekutif. Jabatan tertinggi dari Syuriah adalah Rais ‘Aam. Sementara di Tanfidziyah dikenal dengan Ketua Umum.
Pada Muktamar pertama tahun 1926, KH Muhammad Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Rais ‘Aam. Beliau juga dikenal dengan sebutan Hadratussyaikh Hasyim Asyari dan disebut dengan Rais Akbar karena menjadi ketua sekaligus pendiri NU. Sementara itu Ketua Umum NU pertama dijabat oleh KH Hasan Gipo.
Untuk lebih jelasnya, berikut daftar Ketua Syuriah dan Ketua Tanfidziyah NU dari masa ke masa:
Rais Aam NU
Nomor | Nama | Masa Jabatan |
1 | K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari | 1926-1947 |
2 | K.H. Abdul Wahab Hasbullah | 1947-1971 |
3 | K.H. Bisri Syansuri | 1971-1980 |
4 | K.H. Ali Maksum | 1981-1984 |
5 | K.H. Ahmad Shiddiq | 1984-1991 |
6 | Ali Yafie | 1991-1992 |
7 | K.H. Ilyas Ruhiat | 1992-1999 |
8 | Dr. (H.C.) K.H. M. A. Sahal Mahfudh | 1999-2014 |
9 | Dr. (H.C.) K.H. Ahmad Mustofa Bisri | 2014-2015 |
10 | Prof. Dr. (H.C.) K.H. Ma’ruf Amin | 2015-2018 |
11 | K.H. Miftachul Akhyar | 2018–2027 |
Ketua Tanfidziyah
Nomor | Nama | Masa Jabatan |
1 | K.H. Hasan Gipo | 1926-1929 |
2 | K.H. Ahmad Noor | 1929-1937 |
3 | K.H. Mahfudh Siddiq | 1937-1944 |
4 | K.H. Nahrawi Tahir | 1944-1951 |
5 | K.H. Abdul Wahid Hasyim | 1951-1954 |
6 | K.H. Muhammad Dahlan | 1954-1956 |
7 | Dr. (H.C.) K.H. Idham Chalid | 1956-1984 |
8 | Dr. (H.C.) K.H. Abdurrahman Wahid | 1984-1999 |
9 | K.H. Ahmad Hasyim Muzadi | 1999-2010 |
10 | Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, M.A. | 2010-2021 |
11 | K.H. Yahya Cholil Staquf | 2022-2027 |